Bali memiliki salah satu tradisi unik bernama omed-omedan atau kerap disebut sebagai festival ciuman massal. Tradisi yang berada di Banjar Kaja, desa Sesetan, Denpasar, Bali ini membebaskan semua muda mudi untuk berciuman hanya di saat itu saja.
Perayaan yang sering disebut sebagai festival ciuman massal Bali tersebut biasanya digelar satu hari setelah Hari Raya Nyepi, yakni pada hari ngembak geni untuk menyambut tahun baru saka. Apakah Anda penasaran dengan tradisi satu ini? Maka simak ulasannya berikut.
Menurut salah satu seorang penglingsir dari desa Sesetan, I Gusti Ngurah Oka Putra, ritual ciuman massal ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-17 dan terus berlangsung hingga saat ini. Dulu sekali di masa lalu, ritual ini pernah ditiadakan.
Tetapi, Tiba-tiba ditengah desa muncul dua ekor babi hutan yang saling bertarung. Masyarakat desa Sesetan menganggap hal tersebut sebagai pertama buruk. Sesepuh desa pun memanggil kembali muda-mudi untuk menyelenggarakan omed-omedan seperti biasa.
Setelah kejadian tersebut, ritual ini terus diselenggarakan secara rutin sebagai upaya agar desa terhindar dari malapetaka.
Dalam kissing festival tersebut, para muda mudi setempat dikelompokkan menjadi dua grup, yaitu grup pria (teruna) dan grup wanita (teruni). Sebelum ritual dimulai, semua peserta mengikuti upacara persembahyangan bersama di pura banjang.
Setelah ritual sembahyang selesai, ditampilkan pertunjukan tari barong bangkung (barong babi) yang dimaksud untuk mengingat kembali peristiwa beradunya sepasang babi hutan di desa Sesetan tersebut.
Ritual yang tak biasa ini hanya bisa diikuti oleh mereka para teruna teruni atau pemuda pemudi yang berusia 17-30 tahun dan berstatus single atau yang belum menikah. Kemudian proses ritual akan diawasi oleh para tokoh adat yang lebih tua.
Adapun makna tradisi kissing ini adalah untuk menjalin silaturahmi. Dengan melalui ritual tersebut, diharapkan tali persaudaraan antara anak muda di Banjar Kaja, Sesetan dapat semakin erat.
Saat muda mudi ini saling bertemu dan berpelukan erat, ada kalanya mereka saling beradu pipi, kening, dan bahkan bibir. Masyarakat awam dari luar pulau Bali banyak yang menyalah artikan hal ini sebagai saling berciuman.
Kini, selain menjadi bagian dari tradisi, festival ciuman massal juga sukses menarik minat para wisatawan. Tak heran, festival ciuman massal pun menjadi festival tahunan yang dinamai Omed-Omedan Cultural Heritage Festival
Ritual kissing ini diisi oleh alunan gamelan dan menyanyi khas budaya omedan. Dengan penggalan Lirik yang memiliki arti ciuman, berpelukan, siram dan tarik menarik.
Asal tradisi ini dimulai sekitar abad ke-17 saat Raja Puri Oka yang bernama Anak Agung Made Raka menderita penyakit keras yang tak kunjung sembuh. Ketika beliau sakit, beliau meminta untuk tidak menciptakan keramaian kepada warga setempat.
Hal ini membuat warga kecewa hingga pasca perayaan Nyepi, para warga termasuk muda mudi ini sepakat membuat keramaian yang mengganggu raja Puri Oki yang sedang sakit. Akibatnya, Raja keluar dan memarahi warga.
Namun, ajaibnya Raja Puri Oki justru sembuh dari penyakitnya. Kemudian pada tahun 1984, seperti yang sudah dijelaskan, tradisi ini sempat dihentikan oleh Raja berikutnya yaitu I Gusti Ngurah Oka karena mendengar warga setempat mengajak orang lain berciuman.
Hal ini membuat Raja malu dan tidak nyaman semenjak partisipan tradisi ini berasal dari muda mudi yang masih sekolah. Tetapi, Tiba-tiba dua babi berdatangan dan menghancurkan daerah sekitar.
Sejak saat itulah, orang-orang Banjar Kaja tidak berani untuk menghentikan tradisi omed-omedan.